Selasa, 18 Desember 2012

FENOMENA BUATAN : MUSIK DI NKRI

Memprihatinkan dengan trend perkembangan musik saat ini di negeri ini. Trend musik Indonesia tak ayal layaknya anak layangan atau biasa disebut alay, yakni dimana ketika salah satu band/penyanyi mengangkat satu aliran tertentu dan direspon dengan baik oleh pasar (baca: masyarakat), maka band/penyanyi lain akan mengikutinya (walaupun band/penyanyi ini sebenarnya tidak menyukai aliran tersebut). Mereka adalah band/penyanyi yang dinaungi oleh industri musik besar/major label atau jadi kebiasaan disebut dengan mainstream. Seperti ketika boomingnya musik/lagu yang beraliran pop melayu, maka negeri ini seperti hanya memiliki satu selera musik saja yaitu pop melayu atau yang sedang marak sekarang adalah boys and girls band. Pada dasarnya hal itu sah-sah saja karena memang seperti itulah cara berbisnis yang menguntungkan. Namun, kebanyakan masyarakat (baca: pasar) akhirnya kesulitan dalam mendapatkan referensi musik yang beragam dan tanpa sadar sudah masuk didalam jebakan pembodohan dari kaum pebisnis murni. Lain hal dengan yang diluar mainstream, mereka lebih mengutamakan kemurnian (baca: orisinalitas karya) atau bagi masyarakat yang juga tergolong alay mmberi istilah idealisme. Mereka, yang diluar mainstream lebih mementingkan estetika dan etika dalam bermusik. Mereka lebih memilih menikmati aliran bermusik yang benar-benar memang mereka sukai, berkarakter dan bukan karena tuntutan pasar. Resikonya, mereka tidak dapat mengenyam keuntungan atau kepuasan materi. Ada pertanyaan, berarti lagu2 dari band2 yang warna musiknya tidak sejalur dg mainstream kalah modal untuk promo media? Bisa jadi lagunya tidak bagus tuh? Kalau tidak bagus, ya mungkin saja. Kalau masalah modal, bisa saja begitu, namun perlu dicermati, para pedagang (baca: industri) tidak akan pernah punya visi untuk nilai seni itu sendiri, tidak akan pernah mau untuk memperjuangkan kepribadian musik bangsa ini. Semua hanya disamakan dengan barang mati, hanya berorientasi keuntungan materi semata. Habis manis sepah dibuang. Tatkala ada komunitas mulai mengibarkan bendera lagu indie, sang “pedagang” pun dengan mudahnya ikutan menggunakan kata “indie”, tanpa memahami apa sesungguhnya yang dimaksud musik indie. Jadinya musik feodal yang selalu marak :D. Ironisnya, banyak band bermunculan dengan embel2 “indie”, sementara corak lagunya masih terjebak dengan kemauan sang pedagang, yakni jenis mainstream. Akhirnya kreatifitas yang murni mulai padam, karya yang orisinil sudah ditutup rapat dan ditebas untuk bisa mencuat ke permukaan. Dan Musisi2 yang mempunyai jati diri justru pada tiarap, kelaparan. Dengan semakin mudahnya mengakses internet, mereka dari kalangan yang tiarap maupun kalangan anak layangan yang tidak dilirik oleh pedagang, bisa membuat blog gratis atau selalu aktif di social network seperti facebook, twitter, myspace, google plus, orkut dlsb, lalu terpaksa me-gratis-kan karya2nya. Apakah me-gratis-kan itu cara satu2nya yang terbaik??

Tidak ada komentar:

Comments

HTML Comment Box is loading comments...